Minggu, 18 Desember 2016

Sejarah teater Indonesia tahun 1950-an dan 1970-an

Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan. Mereka juga merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keikhlasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-Titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956), dan Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara itu, ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan pascaperang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Achdiat K. Mihardja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis diIndonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan modern. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
 
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater Barat dan dipengaruhi oleh idiom Henrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Adapun metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Alumni ATNI yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta 1955, Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Adapun Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim Lim mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Karya penyutradaraannya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Ia juga berakting dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962) dan The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser teater rakyat Sunda. Jim Lim juga menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950).

Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada 1967, ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).

Pusat kesenian Taman Ismail Marzuki yang didirikan oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada 1970 menjadi pemicu meningkatnya aktivitas dan kreativitas berteater di Jakarta dan kota besar lainnya, seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, dan Ujung Pandang. Taman Ismail Marzuki menerbitkan enam puluh tujuh judul lakon yang ditulis oleh tujuh belas pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus.

Tokoh-tokoh teater yang muncul pada 1970-an lainnya adalah Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum, dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (Teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sejarah teater Indonesia tahun 1950-an dan 1970-an