Minggu, 18 Desember 2016

Sejarah teater Indonesia tahun 1940-an

Teater Indonesia 1940-an
Pada masa penjajahan Jepang, semua unsur kesenian dan kebudayaan dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Meskipun demikian, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat memikirkan pendirian Pusat Kesenian Indonesia. Tujuannya untuk menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi-kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Oleh karena itu, pada 6 Oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia. Pengurus badan ini adalah Sanusi Pane (ketua), Mr. Sumanang (sekretaris), serta Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Kama Jaya (anggota).

Pada masa pendudukan Jepang, kelompok rombongan sandiwara yang berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini, semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Rombongan sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show dengan peragawati gadisgadis Indo-Belanda yang cantik-cantik.

Selanjutnya, muncul rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintangbintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok yang sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan  tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenalsejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh.
 Baca juga sejarah-teater-indonesia-tahun-1950-dan-1970-an

Hingga 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu (barisan propaganda Jepang) karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina yang terkenal sebagai “raja drum”. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut  sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. Cerita-cerita yang dipentaskan antara lain: Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada 6 April 1943 mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang menampilkan hiburan berupa tari-tarian. Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, dan Potong Padi. Dari semua lakon tersebut ada yang sudah difilmkan, yaitu Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.

Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya sastra yang cukup berarti, yaitu Penggemar Maya (1944), pimpinan Usmar Ismail dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis, dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme, dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Karena itu, teori teater perlu dipelajari secara serius. Pandangan Penggemar Maya ini kemudian menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sejarah teater Indonesia tahun 1940-an